Awas Hari, Santrimu kemalingan!!!!
Jangan berlagak tidak mengerti, kalian itu cukup
mengerti dengan apa yang karus kalian lakukan. Lakukanlah yang terbaik untuk
Indonesia dan juga dirimu sendiri. Jangan berlagak BODOH, Kalian cukup pandai, Kalian
cukup mempunyai keahlian untuk mempersatukan dan memajukan Bangsa Indonesia
ini. "Bergerak terus...teruslah bergerak demi tercapainya tujuan”.
Berbicara prihal santri tentunya yang
pertama kali tersirat difikiran kita adalah mereka-mereka para pemuda yang
memusatkan studi keilmuan pada sistem pendidikan keagamaan, agama Islam
tentunya. Namun tahukah kita awal mulanya istilah santri itu muncul di Negara
kita ini? Percaya atau tidak, silahkan bagaimanapun juga tulisan ini dibuat
tidak untuk dipercaya atau bahkan wajib diyakini. Kata Satri pada dasarnya adalah adopsi dari
bahasa sansekerta. “santre” berartikan
orang yang senantiasa mendaya gunakan dirinya untuk mengembarakan daya
intelektualitas kedalam dunia kerohaniahan, menghafalkan ajaran-ajaran budi
pekerti dalam hal ini adalah Agama” maka tidak mengherankan jika dalam sistem
pendidikan pesantren menghafal adalah produk yang utama dan begitu menonjol.
Memang tidak dipungkiri bahwa fakta sejarah Indonesia membuktikan bahwa awal
mula berdirinya lembaga pendidikan di Indonesia ini adalah sistem pesantren.
Mereka nenek moyang kita yang beragama Islamlah yang mengawali terbentuknya
pendidikan di Nusantara ini, Bahkan jauh sebelum para bangsa penjajah masuk di
Nusantara ini dan membangun struktur kependidikan yang cenderng bernuansa kelas
sosial dan propaganda. Dahulu memang ada sistem pendidikan Surau di Nusantara, namunasistemaituatakadapatabertahanalamaadijNusantra.
Hari
ini 22 Oktober 2015, langkah awal disahkannya Hari Santri Nasional. Terlepas
dari pro-dan kontranya tentang peristiwa ini, saya pribadi sebagai rakyat, sebagai
Orang Indonesia, sebagai Murid (lebih suka mengaku murid daripada Santri) dan
sekaligus sebagai pemuda merasa perlu untuk prihatin sekaligus waspada.
Disamping saya juga merasa bangga tentunya dengan momentum ini. Baiklah, saya
akan mencoba menjelaskan tentang keluh kesah saya pada momentum ini. Kita semua
tahu dan mungkin ada juga yang sampai mempercayai bahwa keberlangsungan,
kemajuan dan kejayaan sebuah negara sebenarnya terletak pada kondisi para pemudanya.
Yang membuat saya merasa agak sedikit canggung
disini adalah terpusat pada kondisi pemuda yang dewasa ini dirasa agak sedikit
memprihatinkan.
Mengenai
kebangkitan pemuda dan nasib Indonesia yang jika kita baca dalam ranah sejarah
ini merupakan siklus yang biasa terjadi disetiap dekade dan hitungan-hitungan
tertentu. Mungkin kita semua tahu bahwa latar belakang pemuda dan terbentuknya
Negara ini tak bisa dipisahkan dengan sejarah awal mula di tahun (belasan) jauh
sebelum Indonesia Merdeka. Kita mulai dari awal secara singkat. Mula-mula para
pemuda Indonesia yang menjadi Mahasiswa yang bersekolah di Belandalah yang merasa
menemukan Tanah Air dan Nasionalnya. Lalu itu berpengaruh besar terhadap
pergerakan-pergerakan di Nusantara yang muncul setelah itu. Namun pada waktu
itu angkatan muda yang berpendidikan adalah mereka yang berlatarbelakang
anak-anak keturunan kelas Priyayi. Sedangkan pada gilirannya sejarah pula
membuktikan bahwa Priyayi adalah perkawinan Politik dari Kolonialisme dan
Feodalisme. Tidak dipungkiri memang, pada waktu itu yang cenderung terlihat
bergerak adalah mereka-mereka intelektual muda dari keturunan Priyayi. Karena
merekalah yang berkesempatan memang. Maka itu sebabnya dari dulu hingga kini
menimbulkan pengaruh “Budaya Panutan“ (terlepas dari Idiologi keagamaan).
Budaya panutan dalam hal sistem bernegara maupun berkehidupan. Rakyat yang “BODO”
manut saja dengan yang Pinter, Rakyat yang “DEDEL dan KUMEL” nggak usah ikut mikir tinggal manut saja,
rakyat yang lemah nggak usah melu-melu. Tidak ada kesempatan bagi rakyat
khususnya yang muda untuk berusaha urun rembug meluaskan pikirannya,
mendayagunakan akal untuk kepentingan pribadi sekaligus bersama, tidak ada sama
sekali. Maka hal yang wajar jika semasa kecil pemuda yang mlarat lebih baik
mondok daripada bersekolah dan bercelana. Sehingga sempat menimbulkan budaya
yang negatif disetiap institusi pendidikan dimasa itu, baik dari pesantren
terhadap sekolahan formal bentukan kolonial maupun sebaliknya.
Budaya
Panutan Terbukti secara jelas sewaktu Indonesia dibawah kekuasaan ORBA.
Karakter Pemuda Bangsa Indonesia yang dahulunya bersifat Heroik itu dimatikan.
Pemuda Indonesia sedari SD hingga jenjang Bangku Perkuliahan di didik
KEBOHONGAN. Ditindas cakrawala intelektualitasnya, dimatikan daya
keberaniaanya, sampai-sampai semua tiarap, rakyat, pers bahkan mereka para
intelektuil yang berlapis-lapis gelarnya bungkam dan membenarkan kebenaran
Massa ORBA. Sebab memang rakyat harus dibikin kecil sekecil kecilnya nyalinya
termasuk pemudanya. Dengan demikian supaya mudah untuk diperintah, mempermudah
modal kepentingan multi-Nasional masuk dengan kedok kemanusiaan yang sejatinya
adalah bisnisasemataabukanamoral.
Kalaupun
toh ada yang melepas diri dari kebohongan dan menolak kebohongan tersebut
tentulah menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri dan setelah itu mati. Sementara
itu pemuda-pemuda santri tetap bergerak aman karena kedunguan mereka prihal
Negara. Justru menurut penulis pribadi, disinilah titik aman lembaga Pesantren/
para santri. Mengapa demikian? Karena mereka para Santri (yang benar-benar
menganggap dirinya santri) masih belum terpaku pada sistem politik kekuasaan,
mereka masih bebas otaknya. Mereka hanya tau ketulusan, kesucian, kebenaran dan
keindahan. Jangan sampai gerakan People-Power yang bersifat bawah tanah ini
kandas ditengah jalan. Seperti hanya peristiwa 12 mei 1998 yang kandas akibat
tunggangan politik vertikal yang berhasil menunggangi pergerakan pemuda masa itu.
Memang sudah semestinya gerakan revolusi itu mendapat apresiasi, silakan saja
kalau mau kita bikin kesepakatan bagi mahasiswa untuk menjadikan kesepakatan
bersama untuk menjadikan peringatan Nasional yang perlu dimeriahkan dengan
pesta dan liburan. Tapi apakah ya layak jika hal itu hanya menimbulkan efek
seremonial belaka tanpa ada kritik yang membangun buat kedepannya?. Sama
seperti hanya Hari Santri ini. Jangan sampai momentum ini dicemari oleh tinta
keruh mereka yang berkuasa. Penguasa jelas beda dengan pemimpin, Tai jelas beda
dengan Roti, apalagi Batu Kali dengan INTAN, nah sementara Demokrasi kita
sekarang ini? Tak bisa membedakan semua itu. Krisis MULTI DIMENSIONAL ini yang
harus kita waspadai. Sungguh Eman-eman jika momentum ini kotor duluan sebelum
menjadi arti. Para satri sudah waktunya untuk bergerak, harus lebih dewasa dari
sebelumnya, harus bisa ambil sikap dan prinsip harus pintar-pintar membedakan
mana Ta’dzhim mana perbudakan, harus tau kepada siapa sesungguhnya mereka harus
Ta’dzimii, mereka takuti dan patuhi. Apakah kepada Guru, ataukah juga kepada
para Penguasa yang berusaha merong-rong mengambil hati Sang Guru demi umpan
mata kail mereka, demi meraih kepercayaan, simpatisan yang bersifat semu dan
imajinatif belaka? Ta’dzhim itu perlu, baik indah dan benar. Karena takdzhim
bukan berarti mematikan kemerdekaan nurani dan fikiran, kemerdekaan nurani dan
fikiran mutlak sifatnya adalah hak prerogratif setiap individu dengan Tuhannya,
dan jelas bukan termasuk kedalam muatan rukun dan syarat untuk tidak berta’dzhim
kepada guru. Karena dalam pesantren sendiri mengenal dengan apa yang disebut
“hifdzul al-aql” (kewajiban melindungi daya intelektual) dan saya rasa ta’dzhim
sendiri sudah termasuk strategi dalam perlindungan daya intelektual terutama
kemerdekaan nurani danafikiran.
Problem
krisis MULTI DIMENSIONAL di Indonesia saya rasa bisa diatasi dengan Bangkitnya
Pesantren dan Para santri-santri (Pemuda). Metode Pendidikan kepesantrenan yang
dirasa begitu diperlukan dewasa ini. Metode Pendidikan yang dimana lebih
mementingkan metode Tarbiya daripada Ta’lim dirasa lebih cocok untuk membangun
karakter setiap Individu-individu yang berbeda. Karena secara fakta sejarah sistem
pendidikan dipesantren sendiri kebanyakan merupakan adobsi dari nilai-nilai
yang berkembang dimasyarakat, disamping pesantren sendiri merupakan sistem sosial
yang khas atau beda dari sistem sosial kemasyarakatan yang ada. Disisi lain,
kontribusi pesantren sendiri terhadap Negara akan lebih besar sebenarnya jika
kita melihat dan memposisikan pesantren secara adil dalam strategi pembangunan
keberlangsungan bangsa. Karena dalam sistem pesantren terdapat 3 (tiga) elemen
dasar yang mampu menjadikan Negara ini sebagai Negara Adikuasa diharibaan
mendatang. Ke-Tiga nilai lebih yang dimiliki ini antara lain, Pertama pola
kepemimpinan pesantren yang mandiri, yang tidak terkooptasi oleh Negara. Kedua,
dalam strategi penyaluran keilmuan di pesantren menggunakan kitab kuning
sebagai rujukan umum yang selalu digunakan dari zaman-kezaman tradisi“ tasirul
al-kitab bil al-Kutub” dan yang terakhir
adalah sistem nilai yang digunakan oleh masing-masing pesantren tidaklah sama,
karena mengadopsi dari sistem nilai yang ada di masyarakat masing-masing
pesantren. Ketiga nilai ini sebenarnya merupakan pondasi awal sekaligus “JIMAT”
yang paling ampuh guna menjaga
sekaligus membangun Negara ini sebagai Negara yang berdaulat adil dan makmur
mengingat Indonesia sendiri merupakan Negara yang terdiri dari keanekaragaman
sosial yang begitu universal. Sementara para santri merekalah pemuda-pemuda
yang berjiwa bocah Angon yang siap ngangon Indonesia ini. Merekalah Tukang
Angon yang bukan hanya memutuskan suatu permasalahan tanpa ada
keberlangsungannya seperti mereka-mereka yang berkuasa, melainkan mereka para
santrilah yang memutuskan sekaligus melaksanakan layaknya bocah angon yang
benar-benar bertanggung jawab atas gembalaannya. Sudah waktunya kita mandiri
dan jangan berharap banyak pada partai politik yang ada, meskipun dalam rangka
ikut andil ndandani Indonesia sementara waktu ini haruslah ikut parta politik
toh ya nggak ada ceritanya Tukang Angon harus pakai kaos partai, meskipun itu
dikasih GRATISSS!!!!!!
05.04 Malang, 22 Oktober 2015
Kamar Pengasingan Anak Asuh Rembulan